PEGADAIAN KONVENSIONAL DAN PEGADAIAN SYARIAH
2.1. PEGADAIAN KONVENSIONAL
2.1.1. PEGADAIAN MENURUT PARA AHLI
Pegadaian menurut Susilo (1999)
adalah suatu hak yang diperoleh oleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu
barang bergerak.
Perusahaan Umum Pegadaian
adalah suau badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin untuk
melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk
penyaluran dana masyarakat atas dasar hukum gadai.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa gadai
adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang orang yang berpiutang atas
suatu barang yang bergerak yang diserahkan oleh orang yang berpiutang sebagai
jaminan utangnya dan barang tersebut dapat dijual oleh yang berpiutang bila
yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannyapada saat jatuh tempo.
2.1.2. PEGADAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG
Gadai menurut Undang – undang Hukum Perdata
(Burgenlijk Wetbiek) Buku II Bab XX pasal 1150, adalah : suatu hak yang
diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang berutang atau orang lain atas namanya dan yang
memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan dari pada orang – orang berpiutang lainnya,
dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk mennyelamatkannya setelah barang tersebut digadaikan, biaya –
biaya mana harus didahulukan.
2.1.3. TUJUAN PEGADAIAN
·
Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan
kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional
pada umumnya melalui penyaluran pinjaman uang pinjaman atas dasar hukum gadai.
·
Pencegahan praktek ijon, pegadaian gelap, riba dan
pinjaman tidak wajar lainnya.
2.1.4. MANFAAT PEGADAIAN
·
Bagi Nasabah
Prosedur yang relatif lebih sederhana dan dalam waktu
yang lebih cepat terutama apabila dibandingkan dengan kredit perbankan.
Disamping itu, mengingat jasa-jasa yang ditawarkan perum
pegadaian maka manfat lain yang dapat diperoleh nasabah adalah:
-
Penaksiran nilai suatu barang bergerak dari suatu
institusi yang telah berpengalaman dan
dapat dipercaya.
-
Penitipan suatun barang bergerak pada tempat yang aman
dan dapat dipercaya.
·
Bagi Perum Pegadaian
-
Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang
dibayarkan oleh peminjam dana.
-
Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan
oleh nasabah yang memperoleh jasa tertentu dari perum pegadaian
-
Pelaksanaan misi perum pegadaian sebagai suatu badan
usaha milik negara yang bergerak dalam bidang pembiayaan berupa pemberian
bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan prosedur dan cara yang relatif
sederhana.
2.1.5. KEGIATAN USAHA
·
Penghimpunan dana
-
Pinjaman jangka pendek dari perbankan
-
Pinjaman jangka pendek dari pihak lainnya (utang kepada
rekanan, utang kepada nasabah, utang pajak, dan biaya yang masih harus dibayar,
pendapatan diterima di muka, dll)
-
Penerbitan obligasi.
Perum
pegadaian sudah 2 kali menerbitkan obligasi, yang jangka waktunya masing-masing
5 tahun. Tahun 1993 → rp. 25 milyar, tahun 1994 → rp. 25 milyar.
-
Modal sendiri
Modal awal → kekayaan negara di luar apbn sebesar rp. 205
milyar
Penyertaan modal
pemerintah
Laba ditahan.
·
Penggunaan dana
-
Uang kas dan dana likuid lain
→ untuk kewajiban yang jatuh tempo, penyaluran dana,
biaya operasional, pembayaran pajak.
-
Pembelian dan pengadaan berbagai macam bentuk aktiva
tetap dan inventaris
→ Tanah,
bangunan, kendaraan, meubel. Dll
-
Pendanaan kegiatan operasional
→ Gaji
pegawai, honor, perawatan peralatan.
-
Penyaluran dana
→ Lebih dari
50 % dana yang dihimpun oleh perum pegadaian tertanam dalam aktiva ini, karena
ini merupakan kegiatan utama untuk memperoleh pendapatan, disamping
sumber-sumber lainnya ( surat berharga dan lelang)
-
Investasi lain.
Kelebihan dana
(idle fund) ini dapat digunakan untuk
investasi jangka pendek dan jangka menengah. Ex: investasi di bidang properti
2.1.6. PRODUK DAN JASA PERUM PEGADAIAN
a. Pemberian Pinjaman Atas Dasar Hukum Gadai
Yaitu
mengsyaratkan pemberian pinjaman atas dasar penyerahan barang bergerak oleh
penerima pinjaman. Sehingga nilai pinjaman yang diberikan dipengaruhi oleh
nilai barang bergerak yang akan digadaikan.
b. Penaksiran Nilai Barang
Barang-barang
yang akan ditaksir pada dasarnya meliputi semua barang semua barang bergerak
yang bisa digadaikan , terutama emas, berlian, dan intan. Atas jasa pegadaian
ini perum pegadaian memperoleh penerimaan dari pemilik barang berupa ongkos
penaksiran.
c. Penitipan Barang
Perum pegadaian dapat melakukan jasa tersenut karena
perum pegadaian mempunyai tempat yang memadai. Masyarakat biasanya menitipkan
barang di pegadaian pada dasarnya karena alasan keamanan penyimpanan, terutama
bagi masyarakat yang akan meninggalkan rumahnya untuk jangka waktu yang lama.
Nasabah dikenakan ongkos penitipan.
d. Jasa lain
Perum pegadaian dapat juga menawarkan jasa-jasa lain
seperti kredit pada pegawai, tempat penjualan emas, dll.
2.1.7. PELELANGAN
Pelelangan dilakukan apabila terjadi hal-hal berikut:
a.
Pada saat masa pinjaman habis atau jatuh tempo, nasabah
tidak bisa menebus barang yang digadaikan dan membayar kewajiban lainnya karena
berbagai alasan.
b.
Pada saat masa pinjaman habis atau jatuh tempo, nasabah
tidak memperpanjang batas waktu pinjamannya karena berbagai alasan.
Hasil
pelelangan akan digunakan untuk melunasi seluruh kewajiban nasabah kepada perum
pegadaian yang terdiri dari:
·
Pokok pinjaman
·
Sewa modal atau bunga
·
Biaya lelang
Tidak Laku/lebih
rendah dari taksiran® dibeli pemerintah, kerugian ditanggung perum pegadaian.
2.2. PEGADAIAN SYARIAH
2.2.1. DEFINISI AR-RAHN
Dalam fiqh muamalah,
perjanjian gadai disebut rahn. Istilah rahn secara bahasa berarti “menahan”.
Maksudnya adalah menahan sesuatu untuk dijadikan jaminan hutang.[1]
Sedangkan pengertian gadai menurut hokum syara
adalah:
Menjadikan
sesuatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara sebagai jaminan
hutang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari
orang tersebut.[2]
Istilah rahn memiliki
akar yang kuat dalam al-Quran sebagaimana firman Allah:
Tiap
diri terikat (tergadai) dengan apa yang telah diperbuatnya (Q.S Mudatsir : 38)
1.2.2. AR-RAHN MENURUT PARA AHLI
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur
diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang
diagunkan.
Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang
dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“,
Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn dengan “menjadikan suatu
barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai
pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“.
Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad
yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya.
2.2.3. AR-RAHN MENURUT UNDANG-UNDANG
Ø Hukum
Tidak semua orang
memiliki kepercayaan untuk memberikan pinjaman/utang kepada pihak lain. Untuk
membangun suatu kepercayaan, diperlukan adanya jaminan (gadai) yang dapat
dijadikan pegangan.
Jumhur ulama menyepakati
kebolehan status hukum gadai.[3] Agar
gadai tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, maka diperlukan
adanya petunjuk (fatwa) dari institusi yang berwenang. Di Indonesia, lembaga
yang mempunyai kewenanagan untuk memberikan fatwa adalah Dewan Syariah nasional-Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI). Terkait dengan gadai, fatwa-fatwa yang telah
dikeluarkan adalah:
-
Fatwa Dewan Syariah nasional-Majelis Ulama Indonesia
no.25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn.
-
Fatwa Dewan Syariah nasional-Majelis Ulama Indonesia no.26/DSN-MUI/III/2002
tentang rahn emas.
-
Fatwa Dewan Syariah nasional-Majelis Ulama Indonesia no
09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah
-
Fatwa Dewan Syariah nasional-Majelis Ulama Indonesia
no.10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah
-
Fatwa Dewan Syariah nasional-Majelis Ulama Indonesia
no.43/DSN-MUI/VII/2004 tentang ganti rugi.
Dan fatwa-fatwa tersebut
agar berlaku mengikat, maka perlu ditindak lanjuti oleh pemerintah melalui
otoritas yang terkait menjadi produk hokum yang berlaku formal.
Fatwa Dewan Syariah Nasional no
25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 bahwa pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn dibolehkan
dengan ketentuan sebagai berikut.
·
Ketentuan Umum
1.
Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang)
sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya
tetap menjadi milik Rahin.
Pada prinsipnya, Marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan
tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti
biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan
Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan
juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap
menjadi kewajiban Rahin.
4. Besar biaya pemeliharaan
dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah
pinjaman.
5. Penjualan Marhun
a. Apabila jatuh tempo,
Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi utangnya.
b. Apabila Rahin tetap
tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi
melalui lelang sesuai syariah.
c. Hasil penjualan Marhun
digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang
belum dibayar serta biaya penjualan
d. Kelebihan hasil
penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
·
Ketentuan
Penutup
1. Jika salah satu
pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara
kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku
sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2.2.4. DALIL NAQLI AR-RAHN
Sebagaimana halnya instritusi yang
berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada
syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan
yang dipakai adalah :
·
Quran
Surat Al Baqarah : 283
Artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Kutipan ayat yang berarti
“maka hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang” merupakan anjuran
memberikan jaminan untuk membina kepercayaan. Akan tetapi jika sebagian kamu
saling mempercayai (meskipun tanpa jaminan), hendaknya yang dipercaya itu
menunaikan amana hnya.[4]
·
Hadis
o
“Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda
: Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju
besi. HR Bukhari dan Muslim
o
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas
kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh
manfaat dan menanggung risikonya. HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu
Majah
o
Nabi Bersabda : Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan
boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan
dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan
kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.
HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai
o
Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda : Apabila ada
ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki ( oleh yang menerima gadai),
karena ia telah mengeluarkan biaya ( menjaga)nya. Apabila ternak itu
digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima
gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik
dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya. HR Jemaah
kecuali Muslim dan Nasai-Bukhari
1.2.5.
RUKUN DAN SYARAT GADAI
Dengan terpenuhinya rukun
dan syarat-syaratnya, perjanjian gadai dijalankan secara sah oleh para pihak
yang berkepentingan. Mengenai kapan diperbolehkan untuk menggunakan gadai,
syariah tidak menetapkan secara terperinci. Namun pada prinsipnya, gadai
merupakan akad yang bersifat tabi’iyah[5] karena
pelaksanaan perjanjiannya tergantung dari berlakunay akad lain yang dijalankan
secara tidak tunai. Untuk mencapai keabsahan, adapun rukun dan syarat yang
harus dipenuhi dalam perjanjian gadai adalah:
1.
Aqidain terdiri dari
pihak yang menggadaikan (rahin) dan penerima gadai (murtahin). Agar keabsahan gadai dapat tercapai, maka
masing-masing pihak harus memenuhi syarat sebagai subjek hokum. Dalam dunia
bisnis, pihak yang menerima gadai biasanya berupa perusahaan pegadaian.
2. Objek rahn ialah barang yang digadaikan (marhun). Keberadaan
marhun berfungsi sebagai jaminan mendapatkan pinjaman/utang (marhun bih). Para
fuqaha berpendapat, bahwa setiap harta benda (al-mal) yang sah diperjual
belikan, berarti sah juga untuk dijadikan sebagai jaminan hutang(marhun). Dalam
suatu riwayat Rasulullah saw bersabda:
Setiap barang yang boleh diperjual belikan, boleh
pula dijadikan sebagai jaminan.[6]
Gadai merupakan perjanjian yang objeknya bersifat
kebendaan (‘ainiyah). Karena itu gadai dikatakan sempurna jika telah terjadi
penyerahan objek akad (marhun). Syarat penyerahan selain merekat pada objek
kebandaan (‘ainiyah), juga berlaku pula pada akad yang bersifat kebaikan
(tabarru’). Tujuan penyerahan dimaksudkan untuk memegang objek akad (al-qabdu).
Dalam kaidah fiqh dinyatakan:
Tidak semburna tabarru’, kecuali setelah adanya
serah terima.[7]
Dalam
perjanjian gadai, benda yang dijadikan objek jaminan (marhun) tidak harus
diserahkan secara langsung, tetapi boleh melalui bukti kepemilikan. Penyerahan
secara langsung berlaku pada harta yang dapat dipindahkan (mal al manqul),
sedangkan penyerahan melalui bukti kepemilikan berlaku pada harta yang tidak
bergerak(mal al ‘uqar). Menjadikan bukti kepemilikan sebagai jaminan pembayaran
utang (marhun), hukumnya dibolehkan selama memiliki kekuatan hokum.
3. Adanya kesepakatan ijab
Qabul (shighat akad). Lafadz ijab
qabul dapat saja dilakukan baik secara tertulis maupun lisan, yang penting di
dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai. Para fuqaha sepakat, bahwa
perjanjian gadai mulai berlaku sempurna ketika barang yang digadaikan (marhun)
secara hokum telah berada ditangan pihak berpiutang (murtahin). Apabila barang
gadai telah dikuasai (alqabdh) oleh pihak berpiutang, begitu pula sebaliknya,
maka perjanjian gadai bersifat mengikat kedua belah pihak. Pernyataan ijab
qabul yang terdapat dalam gadai tidak boleh digantungkan (mu’allaq) dengan
syarat tertentu yang bertentangan dengan hakekat rahn.[8]
1.2.6.
HAK DAN KEWAJIBAN
Akibat hokum adanya
kesepakatan dalam suatu perjanjian ialah berlakunya hak dan kewajiban yang
bersifat mengikat para pihak. Secara umum, hak dan kewajiban yang terdapat
dalam perjanjian gadai adalah sebagai berikut:[9]
Penerima
gadai (murtahin)
|
|
Hak
|
Kewajiban
|
1)
penerima gadai (murtahin) mendapatkan biaya administrasi yang telah
dikeluarkan untuk menjaga keselamatan harta benda gadai (marhun)
2)
murtahin mempunyai hak menahan marhun sampai semua hutang(narhun bih)
dilunasi.
3)
Penerima gadai berhak menjual marhun apabila rahin pada saat jatuh
tempo tidak dapat memenuhi kewajiban. Hasil penjualan diambil sebagian untuk
melunasi marhun bih dan sisanya dikembalikan kepada rahin
|
1)
Murtahin bertanggungjawab atas hilang atau merosotnya harga marhun
bila itu disebabkan oleh kelalaian.
2)
Murtahin tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadinya.
3)
Murtahin berkewajiban memberikan informasi kepada rahin sebelum
mengadakan pelelangan harta benda gadai
|
Pemberi
gadai (rahin)
|
|
1)
Rahin berhak mendapatkan pembiayaan dan/atau jasa penitipan.
2)
Rahin berhak menerima kembali
harta benda yang digadaikan setelah melunasi hutangnya.
3)
Rahin berhak menuntut ganti rugi atas kerusakan dan/atau hilangnya
harta benda yang digadaikan.
4)
Rahin berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai yang
sudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya lainnya.
5)
Rahin berhak meminta kembali harta benda gadai jika diketahui adanya
penyalahgunaan
|
1)
Rahin berkewajiban melunasi marhun bih yang telah diterimanya dalam
tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang disepakati.
2)
Pemeliharaan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin. Namun jika
dilakukan oleh murtahin, maka biaya pemeliharaan tetap menjadi kewajiban
rahin. Besar biaya pemeliharaan tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah
pinjaman.
3)
Rahin berkewajiban merelakan penjualan marhun bila dalam jangka waktu
yang telah ditetapkan ternyata tidak mampu
melunasi pinjamannya
|
1.2.7.
OPERASIONAL PEGADAIAN SYARIAH
Salah satu bentuk jasa
pelayanan lembaga keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pembiayaan
dengan menggadaikan barang sebagai jaminan. Landasan akad yang digunakan dalam
operasional perusahaan dalam pegadaian syariah adalah rahn. Berlakunya rahn
adalah bersifatmengikuti (tabi’iyah) terhadap akad tertentu yang dijalankan
secara tidak tunai (dayn) sebagai jaminan untuk mendapatkan kepercayaan.[10] Adapun secara teknis, inplementasi akad rahn
dalam lembaga pegadaian adalah sebagai berikut:[11]
1) nasabah menjaminkan barang (marhun) kepada
pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir
barang jaminan tersebut untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
2) pegadaian syariah dan nasabah menyepakati akad
gadai. Akadini meliputi jumlah pinjaman, pembebanan biaya jasa simpanan dan
biaya administrasi. Jatuh tempo pengembalian pembiayaan yaitu 120 hari (4
bulan).
3) pegadaian syariah memberikan pembiayaan atau
jasa yang dibutuhkan nasabah sesuai kesepakatan.
4) nasabah menebus barang yang digadaikan setelah
jatuh tempo. Apabila pada saat jatuh tempo belum dapat mengembalikan uang
pinjaman, dapat diperpanjang satu kali masa jatuh tempo, demikian seterusnya.
Apabila nasabah tidak dapat mengembalikan uang pinjaman dan tidak memperpenjang
akad gadai, maka pegadaian dapat melakukan kegiatan pelelangan dengan menjual
barang tersebut untuk melunasi pinjaman.
5) pegadaian (murtahin) mengembalikan harta benda
yang digadai (marhun) kepada pemiliknya (nasabah).
Pemaparan diatas
merupakan ilustrasi cara kerja pegadaian syariah scara umum. Dengan mendasarkan
pada prinsiptersebut, di pegadaian syariah sekarang ini telah dikenal beberapa
jasa pelayanan yang ditawarkan kepada masyarakat, yaitu:
-
Pembiayaan atas dasar hokum gadai syariah(rahn), yaitu berupa penyerahan
barang gadai oleh nasabah (rahin) untuk mendapatkan pinjaman yang jumlahnya
ditentukan oleh nilai barang yang digadaikan.
-
Penaksiran nilai barang, yaitu bahwa pegadaian syariah memberikan jasa penaksiran atas nilai suatu barang yang
dilakukan oleh calon nasabah (rahin). Jasa ini diberikan karena biasanya
lembaga pegadaian mempunyai alat penaksir yang keakuratannya dapat dihandalkan.
-
Pegadaian syariah juga menyelenggarakan jasa penyewaan (ijarah) tempat
penitipan barang untuk alasan keamanan. Usaha ini dapat dijalankan karena
pegadaian syariah menyediakan tempat atau gudang penyimpanan yang memadai.
-
Gerai Emas (gold counter), yaitu tempat penjualan emas yang menawarkan
keunggulan kualitas dan keaslian. Emas yang dijual di gerai ini dilengkapi
sertifikat jaminan,sehingga lebih dipercaya masyarakat.[12]
1.3. PERUSAHAAN PEGADAIAN DAN PENGATURANNYA
Menurut sejarahnya, Pegadaian Negara dijadikan
sebagai Perusahaan Negara dibawah lingkup Departemen Keuangan berdasarkan
Peraturan Pemerintah no.176 th 1961. Kemudian berdasarkan Undang-Undang no.09
th 1969, Intruksi Presiden no.17 th 1969, Peraturan Pemerintah no.17 th1969,
serta keputusan Mentri Keuangan No.Kep. 664/MK/9/1969, bentuk pegadaian berubah
menjadi Perusahaan Jawatan (PERJAN). Namun setelah dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah no.10 th 1990, PERJAN Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Umum
(Perum) Pegadaian.[13]
Sedangkan pegadaian syariah sebagai system
alternative, merupakan bagian dari badan hokum yang telah brelaku sekarang ini.
Pegadaian syariah merupakan salahsatu unit layanan syariah yang dilaksanakan
Perum Pegadaian disamping layanan unit
konvensional. Berdirinya unit syariah didasarkan atas perjanjian musyarakah
dengan system bagi hasil antara Perum Pegadaian dengan Bank Muamalat Indonesia
(BMI) untuk tujuan melayani nasabah kedua lembaga tersebut yang ingin
memanfaatkan jasa layanan gadai berdasar prinsip syariah. Dalam perjanjian
no.446/SP300.233/ 2002 dan no.015/BMI/PKS/XII/2002 tertanggal 20 Desember 2002,
BMI yang memberikan modal (pembiayaan) bagi pendirian Pegadaian Syariah di
seluruh Indonesia. Sedangkan Perum Pegadaian merupakan pihak yang
menjalankannya, mulai dari mempersiapkan SDM/ pegawai, manajemen, dan kegiatan
operasional lainnya.[14]
Menurut peraturan pemerintah no.103 th 2000,
perusahaan pegadaian adalah milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi
tugas dan kewenangan untuk menyelenggarakan usaha menyalurkan uang pinjaman
atas dasar hokum gadai (pasal 3 ayat 1). Perusahaan pegadaian berkedudukan dan
berkantor pusat di Jakarta (pasal 4). Perusahaan Pegadaian didirikan untuk
jangka waktu yang tidak ditentukan (pasal 5). Sifat usaha dari perusahaan
pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus
memupuk keuntukngan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan (pasal 6).
Adapun maksud dan tujuan pendirian perusahaan pegadaian adalah sebagai berikut:
1) Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat
terutama golongan menengah kebawah melelui penyediaan dana atas dasar hokum
gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2) Menghindari masyarakat dari gadai gelap, praktek
riba dan pinjaman tidak wajar lainnya (pasal 7). Dari maksud dan tujuan
tersebut, nampaknya penegasan larangan praktek riba dan sejenisnya sudah
menjadi agenda dari pendirian jenis perusahaan ini.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, perusahaan
pegadaian menyelenggarakan kegiatan penyaluran uang pinjaman atas dasar hokum
gadai (pasal 8 huruf a). dalam gadai syariah, bentuk penyaluran dana tidak
ditentukan melalui perjanjian utang piutang semata(qardh), melainkan ditentukan
berdasar modifikasi akad yang akan digunakan.[15] Untuk
mendukung tercapainya maksud tersebut,perusahaan pergadaian melalui persetujuan
Menteri Keuangan dapat mengambil kebijakan:
-
Kerjasama dengan badan usaha lain, terutama bergerak di bidang produksi;
-
Membentuk anak perusahaan sendiri untuk tujuan pengembangan;
-
Melakukan penyertaan modal di perusahaan lain, terutama melalui lembaga
keuangan syariah.
Modal pendirian perusahaan merupakan kekayaan
Negara yang terpisah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta
tidak terbagi atas saham (pasal 10 ayat 1).
Namun dalam hal ini, perusahaan dapar menerbitkan
obligasi dalam rangka pengerahan dana dari masyarakat. Setiap penambahan dan
pengurangan modal Negara yang ditanam dalam perusahaan, ditetapkan dengan peraturan
pemerintah(pasal 11).
Kepengurusan perusahaan pegadaian dilakukan oleh
direksi. Jumlah anggota direksi paling banyak lima orang, dan seorang
diantaranya diangkat menjadi direktur utama (lihat: pasal 17). Kalangan yang
dapat diangkat menjadi direksi adalah perseorangan yang:
1) Memenuhi criteria keahlian, integritas,
kepemimpinan, pengalaman dan berkelakuan baik serta memiliki dedikasi untuk
mengembangkan usaha guna kemajuan perusahaan.
2) Mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah
dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau komisaris atau dewan
pengawas yang dinyatakan bersalah menyebnkan suatu perseroan atau PERUM
dinyatakan lailit.
3) Berkewarganegaraan Indonesia (pasal 18).
Untuk menjalankan perusahaan pegadaian, direksi
mempunyai tugas dan kewenanagn sebagai berikut:
-
Memimpin, mengurus dan mengelola perusahaan sesuai
dengan tujuan dengan senantiasa berusaha meningkatkan daya guna dan hasil
perusahaan.
-
Menguasai, memelihara dan mengurus kekayaan
perusahaan.
-
Mewakili perusahaan di dalam dan diluar pengadilan.
-
Melaksanakan kebijakan pengembangan usaha dalam
mengurus perusahaan yang telah digariskan Menteri Keuangan
-
Melaksanakan kebijakan perusahaan sesuai dengan
pedoman kegiatan operasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
-
Menyiapkan rencana jangka panjang serta rencana
kerja dan anggaran perusahaan.
-
Mengadakan dan memelihara pembukuan serta
administrasi perusahaan sesuai dengan kelaziman yang berlaku bagi suatu
perusahaan.
-
Menyiapkan struktur organisasi dan tata kerja
perusahaan lengkap dengan perincian tugasnya.
-
Melakukan kerjasama usaha, membentuk anak
perusahaan dan melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain dengan
persetujuan menteri keuangan.
-
Mengangkat dan memberhentikan pegawai perusahaan
sesuai dengan. ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
-
Menetapkan gaji, pension/jaminan hari tua dan
penghasilan lain bagi para pegawai perusahaan serta mengatur semua hal
kepegawaian lainnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
-
Menyiapkan laporan tahunan dan laporan berkala
perusahaan (pasal 23).
Pada perusahaan pegadaian dibentuk Dewan Pengawas. Jumlah anggota Dewan
Pengawas disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan paling sedikit 2 (dua) orang
dan paling banyak 5 (lima) orang, seorang diantaranya diangkat sebagai Ketua
Dewan Pengawas. Dewan Pengawas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas untuk kepentingan dan tujuan perusahaan (pasal 31). Sedangkan
pihak yang dapat diangkat sebagai Dewan Pengawas adalah perorangan yang memenuhi
criteria:
1) Memiliki dedikasi, memahami masalah-masalah
manajemen perusahaan dan dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan
tugasnya.
2) Mampu melaksanakan perbuatan hokum dan tidak pernah
dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi, Komisaris atau Dewan Pengawas
yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan atau PERUM dinyatakan
pailit(pasal 32).
Dewan Pengawas bertugas untuk: a) melaksanakan pengawasan terhadap
pengurusan perusahaan yang dilakukan oleh direksi; b) memberi nasihat kepada
direksi dalam melaksanakan kegiatan pengurusan perusahaan. Karena itu, dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya, Dewan Pengawas mempunyai kewenangan
sebagai berikut:
-
Melihat buku-buku, surat-surat serta dokumen-dokumen lainnya, memeriksa
kas untuk keperluan verifikasi dan memeriksa kekayaan perusahaan.
-
Memasuki pekarangan, gedung dan kantor yang dipergunakan oleh
perusahaan.
-
Meminta penjelasan dari direksi dan atau pejabat lainnya mengenai segala
persoalan yang menyangkut pengelolaan perusahaan.
-
Meminta direksi dan atau pejabat lainnya dengan sepengetahuan direksi
untuk menghadiri rapat Dewan Pengawas perusahaan.
-
Menghadiri rapat direksi dan memberikan pandangan-pandangan terhadap
hal-hal yang dibicarakan.
-
Berdasarkan ketentuan peraturan pemerintah ini, memberikan persetujuan
atau bantuan kepada direksi dalam melakukan perbuatan hokum tertentu.
-
Berdasarkan ketentuan peraturan pemerintah ini atau keputusan rapat
pembahasan bersama, melakukan tindakan pengurusan perusahaan dalam hal direksi
tidak ada.
-
Memberhentikan sementara direksi , dengan menyebutkan alasannya (lihat:
pasal 39)
Perusahaan pegadaian yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah harus mendirikan Kantor Cabang Pegadaian Syariah (KCPS) yangberda
dibawah pembinaan Divisi Unit Usaha Syariah Perum Pegadaian. Untuk mewujudkan
tercapainya tugas dan fungsi Kantor Cabang Pegadaian Syariah, maka dibentuk
struktur kepengurusan yang terpisah dari usaha gadai konvensional. Pada
struktur kepengurusan, Kantor Cabang Pegadaian Syariah dipimpim oleh seorang
menejer yang bertanggung jawab atas keberhasilan seluruh unit perusahaan. Untuk
mengawasi agar tetap sesuai dengan prinsip syariah, kegiatan usaha diseluruh
kantor Cabang pegadaian diawasi oleh Dewan Pengawas syariah (DPS) yang
bertindak sebagai partnerdari unit Divisi Syariah Perum Pegadaian.[16]
[1]
Buhanudin S., fiqh muamalah pengantar kuliah ekonomi islm (Yogyakarta: the
syariah institute.2009), hlm175
[2]
Sayyis sabiq, al-Fiqh as Sunnah,(Beirut: dar al fikr,1995)jilid3,hlm.187
[3]
Zainudin Ali, Hukum Gadai Syariah, cey-1, (Jakarta: sinar grafika,2008),hlm.8;
lihat pula: fatwa no.25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn(pegadaian)
[4]
Burhanudin S., Fiqh Muamalah pengantar ekonomi islam., hlm 176
[5]
Akad tabi’iyah adalah akad yang tidak berdiri sendiri dan berlakunya tergantung
dengan akad lain. Lihat Burhanudin S., Hukum Kontrak Syariah, cet-1,
(Yogyakarta: BPFE, 2009), hlm.21
[6]
Abdurrahman al jaziri, fiqh ‘ala al-madzahib al arba’ah. (Beirut: dar al fikr,
1996), jilid 2 hlm. 296-298
[7]
Burhanudin S., fiqh muamalah pengantar kuliah ekonomi islam, hlm.178
[8]
Ibid hlm.178
[9]
Untuk perbandingan, lihat: sasli Rais, pegadaian syariah: konsep dan system
operasional (suatu kajin kontemporer), cet-1,(Jakarta:UI
press,2008),hlm.45-46;Zainudin Ali,op-cit.,hlm.40-41
[10]Transaksi
tidak tunai (dayn) dapat terjadi pada akad apapun baik yang bersifat nirlaba
(tabarru’) seperti utang piutang (qardh), pinjam –meminjam (‘ariyah) dan
lain-lain, maupun akad yangbersifat komersial (tijarah) seperti jual-beli
(al-bai’), sewa-menyewa (ijarah) dan lain-lain. Selama dalam dalam transaksi
tidak tunai itu salahsatu pihak mensyaratkan harta benda sebagai jaminan, maka
pada saat itu pula rahn berlaku.
[11]
Untuk perbandingan lihat: Anshori, op-cit., hlm.122-123
[12]
Pedoman operasi gadai syariah untuk pemberlakuan tanggal 1 jan2007. Pedoman ini
dikeluarkan oleh Divisi Usaha Gadai Syariah Perum Pegadaian pusat pada faktanya
belum mengalami perubahan, kecuali tanggal pemberlakuannya yang senantiasa
diperbarui melalui SK Direksi Perum Pegadaian. Lihat: Zainudin Ali, op-cit.,
hlm.67-68
[13]
Zainudin Ali, op-cit., hlm.10-11
[14]Abdul
Ghafar Anshari, gadai Syariah di Indonesia: konsep, implementasi dan
institusionalisasi, cet-1,(Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 2006) hlm.
139
[15]
Dalam konsep ini, memungkinkan akad rahn sebagai dasar gadai syariah untuk
dipadukan dengan akad lainnya, seperti ijarah.
[16]
Zainudin Ali, op-cit., hlm. 59-60
sumber:
sumber:
Alamat
Website:
Buku:
Tim Pengajar. 2011. Pengetahuan Produk Usaha
Syariah. Jakarta: Perum Pegadaian.
Tim Pengajar. 2011. Pedoman Kantor Cabang dan
Pedoman Operasional Gadai (POK/POG). Jakarta: Perum Pegadaian.
S. Burhanudin. 2011. Hukum Bisnis Syariah.
Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
makasi atas artikelnya
BalasHapusApakah Anda dalam setiap kesulitan keuangan? Apakah Anda perlu
BalasHapuspinjaman untuk memulai bisnis atau untuk membayar tagihan Anda? Kami meminjamkan pinjaman kepada perusahaan lokal, internasional dan juga pada tingkat yang sangat rendah 2%.
Kami memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan bantuan.
Terapkan Sekarang Via Email: kellywoodloanfirm@gmail.com
Terima kasih dan memberkati Allah
Ibu Kelly