Selasa, 06 Desember 2011

Akad Istishna


LATAR BELAKANG
Fenomena jual beli dalam kehidupan sehari-hari merupakan fenomena yang menjadi kebiasaan masyarakat. Terutama masyarakat Indonesia yang banyak  berprofesi sebagai pedagang. Jual beli diatur juga dalam syariah islam. Akan tetapi pengetahuan  masyarakat tentang jual beli berdasarkan syariah Islam masih kurang, oleh karena itu banyak masyarakat yang melakukan jual beli menyimpang dari  syariat Islam.
Jual beli terdiri dari dua macam, yaitu jual beli tunai dan jual beli secara tangguh. Jual beli secara tangguh pun terbagi lagi menjadi tiga, yaitu jual beli murabahah, salam dan istishna’. Jual beli salam dan istishna’ sebenarnya jual beli yang serupa, hanya saja perbedaannya terletak dari keberadaan barang yang dijadikan sebagai objek akad dan cara pembayaran yang sedikit berbeda. Jual beli salam terjadi pada komoditas pertanian, perkebunan dan perternakan, sedangkan jual beli istishna’ terjadi pada komoditas hasil industri yang spesifikasinya dapat ditentukan oleh konsumen. Jual beli istishna’ merupakan teknik jual beli yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti menjahit di tukang jahit dan lain sebagainya. Mungkin itu adalah jual beli istishna’ yang sederhana tapi hal teresebut adalah contoh kecil dari jual beli istishna’.
Akad istishna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual beli ini dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberikan keuntungan kepada produsen juga memberikan keuntungan kepada konsumen atau pemesan yang memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi pihak intermediasi dalam hal ini.
Dalam perkembangannya, ternyata akad istishna lebih mungkin banyak digunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini disebabkan karena barang yang dipesan oleh nasabahatau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan barang yang sudah jadi.  Secara sosiologis barang yang sudah jadi telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang mengimplementasikan istishna’ bisa menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.
Berkenaan dengan latar belakang diatas, maka penulis bermaksud menjelaskan tentang istishna dalam makalah ini.

PEMBAHASAN
Ø PENGERTIAN ISTISHNA’
Istishna' (استصناع) adalah bentuk ism mashdar dari kata dasar istashna'a-yastashni'u (اتصنع - يستصنع). Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Dikatakan : istashna'a fulan baitan, meminta seseorang untuk membuatkan rumah untuknya.[1]
Sedangkan menurut sebagian kalangan ulama dari mazhab Hanafi, istishna' adalah (عقد على مبيع في الذمة شرط فيه العمل). Artinya, sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.[2]
Senada dengan definisi di atas, kalangan ulama mazhab Hambali menyebutkan (بيع سلعة ليست عنده على وجه غير السلم). Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan (بيع بالصنعة).[3]
Namun kalangan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengaitkan akad istishna' ini dengan akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu (الشيء المسلم للغير من الصناعات), yaitu suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya. [4]
Jadi secara sederhana, istishna'  boleh disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya.

Ø  DASAR HUKUM ISTISHNA’
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara sayr'i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
·         Al-Quran
Ø      وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.

·         As-Sunnah
Ø      عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan. [5]
·         Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. [6]

·         Kaidah Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
Ø      الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.
·         Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen.
Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.[7]
Ø  HAKEKAT AKAD ISTISHNA’
Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat akad istishna' ini. Sebagian menganggapnya sebagai akad jual-beli barang yang disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah). [8] Sebagian lainnya menganggap sebagai 2 akad, yaitu akad ijarah dan akad jual beli. Pada awal akad istishna', akadnya adalah akad ijarah (jualjasa). Setealh barang jadi dan pihak kedua selesai dari pekerjaan memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual beli.[9]
Nampaknya pendapat pertama lebih selaras dengan fakta akad istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan syarat ia mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan yang diingikan oleh pemesan.
Ø  RUKUN DAN SYARAT AKAD ISTISHNA’
Berikut ini adalah rukun dan syarat-syarat akad istishna’ :
1.      Transaktor
Transaktor adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni' (المستصنع) sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani' (الصانع).
Kedua transaktor disyaratkan memiliki kompetensi berupa akil baligh dan memiliki kemampuan untuk memilih yang optimal seperti tidak gila, tidak sedang dipaksa dan lain-lain yang sejenis. Adapun dengan transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin dan pantauan dari walinya. Terkait dengan penjual, DSN mengharuskan penjual agar penjual menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati. Penjual dibolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang telah disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan ia tidak boleh menunutut tambahan harga.
Dalam hal pesanan sudah sesuai dengan kesepakatan, hukumnya wajib bagi pembeli untuk menerima barang istishna’ dan melaksanakan semua ketentuan dalam kesepakatan istishna’. Akan tetapi, sekiranya ada barang yang dilunasi terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
2.      Objek Istishna’
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (المحل) adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.[10]
Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.[11]
                        Syarat-syarat objek akad menurut Fatwa DSN MUI, yaitu :
a.       Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
b.      Penyerahannya dilakukan kemudian.
c.       Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan
d.      Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
e.       Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
f.       Memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati
g.      Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi pemesan, bukan barang missal.
3.      Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.
Pelafalan perjanjian dapat dilakukan dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak bisa bicara), tindakan maupun tulisan, bergantung pada praktik yang lazim di masyarakat dan menunjukan keridhaan satu pihak untuk menjual barang istishna’ dan pihak lain untuk membeli barang istishna’. Istishna tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi[12] :
a.       Kedua belah pihak setuju untuk membatalkannya
b.      Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
Ø  Berakhirnya akad istishna
Kontrak istishna bias berakhir berdasarkan kondisi kondisi berikut:
1.      Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah piahk,
2.      Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kotrak
3.      Pembatalan hokum kontrak ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing masing pihak bisa menuntut pembatalannya.


Ø  IMPLEMENTASI ISTISHNA DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Istishna di lembaga keuangan syariah diartikan dengan akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan criteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’) dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.[13]
Secara praktis pelaksanaan kegiatan istishna dalam perbankan syari’ah cenderung dilakukan dalam format istishna paralel. Hal ini dapat dipahami karena pertama, kegiatan istishna oleh bank syari’ah merupakan akibat dari adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan kedua, bank syari’ah bukanlah produsen dari barang dimaksud.
Pada istishna’ pararel terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu bank, nasabah, dan pemasok. Pembiayaan dilakukan karena nasabah tidak dapat melakukan pembayaran atas tagihan pemasok selama masa periode pembangunan, sehingga memerlukan jasa pembiayaan dari bank. Atas pembiayaan terhadap pembangunan barang, maka bank mendapatkan margin dari jual beli barang yang terjadi. Margin diperoleh dari selisih harga beli bank kepada pemasok dengan harga jual akhir kepada nasabah. Dimungkinkan juga, bank mendapatkan pendapatan selain margin berupa pendapatan administrasi.
Pengertian yang dibuat tau dibangun dalam istishna menunjukan periode yang diperlukan (antara akad jual-beli dengan penyerahan barang) untuk suatu pekerjaan penyelesaian barang. Pekerjaan ini dapat berupa pekerjaan manufactur atau konstruksi (banguan/kapal/pesawat), rakit/assemble (kendaraan/mesin), instalasi (mesin/software) atau istilah teknis engineering lainnya. Transaksi dilakukan dengan alur sebagai berikut.


Pertama, nasabah memesan barang yang dikehendaki dan melakukan negosiasi kesepakatan anatara penjual dengan pembeli terkait transaksi istishna’ yang akan dilaksanakan.
Kedua, pada transaksi istishna setelah akad disepakati, penjual (bank syariah) tidak membayar sendiri barang istishna’, setelah meyepakati kontrak istishna’ dan menerima dana dari nasabah istishna’, selanjutnya secara terpisah membuat akad ishtishna’ dengan produsen barang istishna’.
Ketiga, setelah menyepakati transaksi istishna’ dalam jangka waktu tertentu, pemasok kemudian mulai melakukan pengerjaan barang yang dipesan.
Keempat, selama mengerjakan barang yang dipesan, pemasok melakukan tagihan kepada bank syariah senilai tingkat penyelesaian barang pesanan.
Kelima, bank syariah melakukan pembayaran kepada pembuat barang sebesar nilai yang ditagihkan.
Keenam, bank syariah melakukan tagihan kepada nasabah pembeli berdasarkan tingkat penyelesaian barang.
Ketujuh, pemasok menyerahkan barang kepada nasabah pembeli.
Kedelapan, pemaso mengirimkan bukti pengiriman barang kepada bank syariah.
Kesembilan, nasabah melunasi pembayaran barang istishna’ sesuai dengan akad yang telah disepakati.
Ø  PENGAWASAN SYARIAH ATAS AKAD ISTISHNA DAN ISTISHNA PARALEL
Untuk memastikan kesesuaian syariah terhadap praktik jual beli istishna dan istishna parallel, DPS biasanya melakukan pengawasan syariah secara periodic. Berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan Bank Indonesia, pengawasan tersebut dilakukan untuk:
a.       Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam;
b.      Meneliti apakah bank membiayai pembuatan barang yang diperlukan nasabah sesuai pesanan dan criteria yang disepakati;
c.       Memastikan akad istishna dan akad istishna parallel dibuat dalam akad yang tepisah;
d.      Memastikan bahwa akad istishna’ yang sudah dikerjakan sesuai kesepakatan hukumnya mengikat, artinya tidak dapat dibatalkan.
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS menuntut bank Syariah untuk hati-hati dalam melakukan transaksi jual beli istishna’ paralel dengan para nasabah. Di samping itu bank juga dituntut untuk melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan DPS dapat tersedia setiap saat dilakukan pengawasan.



DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Yaya, Rizal dan Ahim Abrurahman. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat.
Sarwat, Ahmad. 2009. Seri Fiqh Islam Kitab Muamalat. Kampus Syariah.
Website:


[1] Lihat Lisanul Arab pada madah (صنع)
[2] Badai'i As shanaai'i oleh Al Kasaani jilid 5 halaman 2
[3] Kasysyaf Al-Qinna' jilid 3 halaman 132
[4] Raudhatuthalibin oleh An-Nawawi jilid 4 halaman 26 dan Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 297
[5] Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/115)
[6] Al Mabsuth oleh As Sarakhsi  jilid 12 halaman 138; Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam jilid 7 halaman 115
[7] Badai'i As-Shanaai'i oleh Al Kasaani jilid 5 halaman 3
[8] Al Mabsuth oleh AsSyarakhsi  jilid 12 halaman 139 dan Badai'i As-Shanaai'i oleh Al Kasaani jilid 5 halaman3
[9] Fathul Qadir Ibnul Humam jilid 7 halaman 116
[10] Al-Mabsuth jilid 12 halaman 159
[11] Fathul Qadir jilid 5 halaman 355
[12] PSAK 104 paragraf 12
[13] Lihat, Pasal 1 ayat 3 Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Pembiayaan Nomor: PER-04/BL/2007 tentang akad-akad yang digunakan dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.

1 komentar: