LATAR BELAKANG
Fenomena
jual beli dalam kehidupan sehari-hari merupakan fenomena yang menjadi kebiasaan
masyarakat. Terutama masyarakat Indonesia yang banyak berprofesi sebagai pedagang. Jual beli diatur
juga dalam syariah islam. Akan tetapi pengetahuan masyarakat tentang jual beli berdasarkan
syariah Islam masih kurang, oleh karena itu banyak masyarakat yang melakukan
jual beli menyimpang dari syariat Islam.
Jual
beli terdiri dari dua macam, yaitu jual beli tunai dan jual beli secara
tangguh. Jual beli secara tangguh pun terbagi lagi menjadi tiga, yaitu jual
beli murabahah, salam dan istishna’. Jual beli salam dan istishna’ sebenarnya
jual beli yang serupa, hanya saja perbedaannya terletak dari keberadaan barang
yang dijadikan sebagai objek akad dan cara pembayaran yang sedikit berbeda.
Jual beli salam terjadi pada komoditas pertanian, perkebunan dan perternakan,
sedangkan jual beli istishna’ terjadi pada komoditas hasil industri yang
spesifikasinya dapat ditentukan oleh konsumen. Jual beli istishna’ merupakan
teknik jual beli yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti
menjahit di tukang jahit dan lain sebagainya. Mungkin itu adalah jual beli
istishna’ yang sederhana tapi hal teresebut adalah contoh kecil dari jual beli
istishna’.
Akad
istishna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual beli ini
dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah
memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberikan
keuntungan kepada produsen juga memberikan keuntungan kepada konsumen atau
pemesan yang memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi pihak
intermediasi dalam hal ini.
Dalam
perkembangannya, ternyata akad istishna lebih mungkin banyak digunakan di
lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini disebabkan karena barang yang
dipesan oleh nasabahatau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu
dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan barang yang sudah jadi. Secara sosiologis barang yang sudah jadi
telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu
pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang
mengimplementasikan istishna’ bisa menjadi salah satu solusi untuk
mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.
Berkenaan
dengan latar belakang diatas, maka penulis bermaksud menjelaskan tentang
istishna dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
Ø PENGERTIAN ISTISHNA’
Istishna' (استصناع) adalah bentuk ism mashdar dari kata dasar istashna'a-yastashni'u
(اتصنع - يستصنع). Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya.
Dikatakan : istashna'a fulan baitan, meminta seseorang untuk membuatkan
rumah untuknya.[1]
Sedangkan menurut sebagian kalangan ulama dari mazhab Hanafi, istishna'
adalah (عقد على مبيع في الذمة شرط فيه العمل). Artinya, sebuah akad untuk sesuatu
yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang
berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat
sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan
orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab
ini.[2]
Senada dengan definisi di atas, kalangan ulama mazhab Hambali
menyebutkan (بيع سلعة ليست عنده على وجه غير السلم). Maknanya adalah jual-beli barang yang
tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini
akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan (بيع بالصنعة).[3]
Namun kalangan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengaitkan akad
istishna' ini dengan akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu (الشيء المسلم للغير من الصناعات), yaitu suatu barang yang diserahkan kepada orang lain
dengan cara membuatnya. [4]
Jadi secara sederhana, istishna' boleh disebut sebagai akad
yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu
barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu
barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara
keduanya.
Ø DASAR HUKUM ISTISHNA’
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara sayr'i
di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
·
Al-Quran
Ø
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah
telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan
ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan
adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan
shahih.
·
As-Sunnah
Ø
عَنْ أَنَسٍ
رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ
لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ.
فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ
فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari
Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu
dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat
yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin
stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat
menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan
nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan. [5]
·
Al-Ijma'
Sebagian
ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah
bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang
dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat
atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk
melarangnya. [6]
·
Kaidah Fiqhiyah
Para
ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat
Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
Ø
الأصل في
الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Hukum
asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.
·
Logika
Orang
membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia
inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar,
sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen.
Bila
akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai
banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya
disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.[7]
Ø HAKEKAT AKAD ISTISHNA’
Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat
tentang hakekat akad istishna' ini. Sebagian menganggapnya sebagai akad jual-beli
barang yang disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan
dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah). [8] Sebagian lainnya menganggap sebagai 2
akad, yaitu akad ijarah dan akad jual beli. Pada awal akad istishna', akadnya
adalah akad ijarah (jualjasa). Setealh barang jadi dan pihak kedua selesai dari
pekerjaan memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual
beli.[9]
Nampaknya pendapat pertama lebih selaras
dengan fakta akad istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu
produsen hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan
kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan syarat ia
mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan yang diingikan oleh pemesan.
Ø RUKUN DAN SYARAT AKAD ISTISHNA’
Berikut
ini adalah rukun dan syarat-syarat akad istishna’ :
1. Transaktor
Transaktor
adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni' (المستصنع)
sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya
pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan
shani' (الصانع).
Kedua
transaktor disyaratkan memiliki kompetensi berupa akil baligh dan memiliki
kemampuan untuk memilih yang optimal seperti tidak gila, tidak sedang dipaksa
dan lain-lain yang sejenis. Adapun dengan transaksi dengan anak kecil, dapat
dilakukan dengan izin dan pantauan dari walinya. Terkait dengan penjual, DSN
mengharuskan penjual agar penjual menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan
kualitas dan jumlah yang telah disepakati. Penjual dibolehkan menyerahkan
barang lebih cepat dari waktu yang telah disepakati dengan syarat kualitas dan
jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan ia tidak boleh menunutut tambahan
harga.
Dalam
hal pesanan sudah sesuai dengan kesepakatan, hukumnya wajib bagi pembeli untuk
menerima barang istishna’ dan melaksanakan semua ketentuan dalam kesepakatan
istishna’. Akan tetapi, sekiranya ada barang yang dilunasi terdapat cacat atau
barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak
memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
2. Objek Istishna’
Barang
yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (المحل) adalah rukun yang kedua dalam akad ini.
Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau
barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan
mazhab Al-Hanafi.[10]
Namun
menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun
akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu
sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan
barang.[11]
Syarat-syarat
objek akad menurut Fatwa DSN MUI, yaitu :
a.
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
b. Penyerahannya
dilakukan kemudian.
c. Waktu dan tempat
penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan
d. Pembeli (mustashni’)
tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
e. Tidak boleh
menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
f. Memerlukan
proses pembuatan setelah akad disepakati
g. Barang yang
diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi pemesan, bukan barang missal.
3. Shighah (ijab qabul)
Ijab
qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang
meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan
tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan
persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.
Pelafalan
perjanjian dapat dilakukan dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak bisa bicara),
tindakan maupun tulisan, bergantung pada praktik yang lazim di masyarakat dan
menunjukan keridhaan satu pihak untuk menjual barang istishna’ dan pihak lain untuk
membeli barang istishna’. Istishna tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi
kondisi[12] :
a. Kedua
belah pihak setuju untuk membatalkannya
b. Akad
batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan
atau penyelesaian akad.
Ø Berakhirnya akad istishna
Kontrak
istishna bias berakhir berdasarkan kondisi kondisi berikut:
1. Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua
belah piahk,
2. Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk
menghentikan kotrak
3.
Pembatalan hokum kontrak ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk
mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing masing pihak
bisa menuntut pembatalannya.
Ø IMPLEMENTASI ISTISHNA DI LEMBAGA
KEUANGAN SYARIAH
Istishna di lembaga keuangan syariah diartikan dengan akad
pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan criteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan
penjual (pembuat, shani’) dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.[13]
Secara praktis
pelaksanaan kegiatan istishna dalam perbankan syari’ah cenderung dilakukan
dalam format istishna paralel. Hal ini dapat dipahami karena pertama, kegiatan
istishna oleh bank syari’ah merupakan akibat dari adanya permintaan barang
tertentu oleh nasabah, dan kedua, bank syari’ah bukanlah produsen dari barang
dimaksud.
Pada istishna’ pararel terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu
bank, nasabah, dan pemasok. Pembiayaan dilakukan karena nasabah tidak dapat
melakukan pembayaran atas tagihan pemasok selama masa periode pembangunan,
sehingga memerlukan jasa pembiayaan dari bank. Atas pembiayaan terhadap
pembangunan barang, maka bank mendapatkan margin dari jual beli barang yang
terjadi. Margin diperoleh dari selisih harga beli bank kepada pemasok dengan
harga jual akhir kepada nasabah. Dimungkinkan juga, bank mendapatkan pendapatan
selain margin berupa pendapatan administrasi.
Pengertian yang dibuat tau dibangun dalam istishna menunjukan
periode yang diperlukan (antara akad jual-beli dengan penyerahan barang) untuk
suatu pekerjaan penyelesaian barang. Pekerjaan ini dapat berupa pekerjaan
manufactur atau konstruksi (banguan/kapal/pesawat), rakit/assemble
(kendaraan/mesin), instalasi (mesin/software) atau istilah teknis engineering
lainnya. Transaksi dilakukan dengan alur sebagai berikut.
Pertama,
nasabah memesan barang yang dikehendaki dan melakukan negosiasi kesepakatan
anatara penjual dengan pembeli terkait transaksi istishna’ yang akan
dilaksanakan.
Kedua,
pada transaksi istishna setelah akad disepakati, penjual (bank syariah) tidak
membayar sendiri barang istishna’, setelah meyepakati kontrak istishna’ dan
menerima dana dari nasabah istishna’, selanjutnya secara terpisah membuat akad
ishtishna’ dengan produsen barang istishna’.
Ketiga,
setelah menyepakati transaksi istishna’ dalam jangka waktu tertentu, pemasok
kemudian mulai melakukan pengerjaan barang yang dipesan.
Keempat,
selama mengerjakan barang yang dipesan, pemasok melakukan tagihan kepada bank
syariah senilai tingkat penyelesaian barang pesanan.
Kelima,
bank syariah melakukan pembayaran kepada pembuat barang sebesar nilai yang
ditagihkan.
Keenam,
bank syariah melakukan tagihan kepada nasabah pembeli berdasarkan tingkat
penyelesaian barang.
Ketujuh,
pemasok menyerahkan barang kepada nasabah pembeli.
Kedelapan,
pemaso mengirimkan bukti pengiriman barang kepada bank syariah.
Kesembilan,
nasabah melunasi pembayaran barang istishna’ sesuai dengan akad yang telah
disepakati.
Ø PENGAWASAN SYARIAH ATAS AKAD ISTISHNA DAN
ISTISHNA PARALEL
Untuk
memastikan kesesuaian syariah terhadap praktik jual beli istishna dan istishna
parallel, DPS biasanya melakukan pengawasan syariah secara periodic.
Berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan Bank Indonesia, pengawasan tersebut
dilakukan untuk:
a. Memastikan
barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam;
b. Meneliti
apakah bank membiayai pembuatan barang yang diperlukan nasabah sesuai pesanan
dan criteria yang disepakati;
c. Memastikan
akad istishna dan akad istishna parallel dibuat dalam akad yang tepisah;
d. Memastikan
bahwa akad istishna’ yang sudah dikerjakan sesuai kesepakatan hukumnya
mengikat, artinya tidak dapat dibatalkan.
Adanya
pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS menuntut bank Syariah untuk hati-hati
dalam melakukan transaksi jual beli istishna’ paralel dengan para nasabah. Di
samping itu bank juga dituntut untuk melaksanakan tertib administrasi agar
berbagai dokumen yang diperlukan DPS dapat tersedia setiap saat dilakukan
pengawasan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Yaya, Rizal dan Ahim Abrurahman. 2009. Akuntansi Perbankan
Syariah Teori dan Praktik Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat.
Sarwat, Ahmad. 2009. Seri Fiqh Islam Kitab Muamalat. Kampus
Syariah.
Website:
[2] Badai'i As
shanaai'i oleh Al Kasaani jilid 5 halaman 2
[3] Kasysyaf
Al-Qinna' jilid 3 halaman 132
[4] Raudhatuthalibin
oleh An-Nawawi jilid 4 halaman 26 dan Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 297
[5] Fathul Qadir
oleh Ibnul Humaam 7/115)
[6] Al Mabsuth oleh
As Sarakhsi jilid 12 halaman 138; Fathul
Qadir oleh Ibnul Humaam jilid 7 halaman 115
[7] Badai'i
As-Shanaai'i oleh Al Kasaani jilid 5 halaman 3
[8] Al Mabsuth oleh
AsSyarakhsi jilid 12 halaman 139 dan
Badai'i As-Shanaai'i oleh Al Kasaani jilid 5 halaman3
[9] Fathul Qadir
Ibnul Humam jilid 7 halaman 116
[10] Al-Mabsuth
jilid 12 halaman 159
[11] Fathul Qadir
jilid 5 halaman 355
[12]
PSAK 104 paragraf 12
[13]
Lihat, Pasal 1 ayat 3 Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Pembiayaan Nomor: PER-04/BL/2007 tentang akad-akad yang digunakan dalam
Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.
bagus sekali ka, artikelnya sangat membantu.
BalasHapus